Proceeding 1st SETIABUDI – CIHAMS 2020
Setia Budi Conference on Innovation in Health, Accounting, and Management Sciences
Homepage: https://cihams.setiabudi.ac.id/index.php/proceeding
Prevalensi Kejadian Soil Transmitted Helminths (STH)
pada Siswa SD Kelas 1 dan 2
The Prevalence of The Incidence of Soil Transmitted Helminths (STH)
in Elementary School Students For 1 and 2 Grade
Nurul Aini* & Norma Farizah Fahmi
Program Studi D3 Analis Kesehatan, Stikes Ngudia Husada Madura,
Jl. RE. Martadinata No.45, Mlajah, Kec. Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur , Indonesia
INTISARI
Anak-anak memiliki prevalensi infeksi tertinggi dan rentan terhadap efek infeksi Soil Transmitted Helminths
(STH). Angka kejadian kecacingan sangat erat kaitannya dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan.
Menurut penelitian sebelumnya Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Arosbaya, pada
pemeriksaan Mikroskopis feses dari bulan Januari 2018 - November 2019 diperoleh hasil 2 anak positif dari
jumlah total 10 pasien. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui prevalensi kejadian Soil Transmitted
Helminths (STH) pada anak SD di Desa Glagga Kecamatan Arosbaya. Metode penelitian yang digunakan
yaitu Deskirptif analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional study). Penelitian dilakukan di
Puskesmas Kecamatan Arosbaya pada tanggal 23-24 Februari 2020. Jumlah sampel dalam penelitian yaitu
33 responden. Data diambil dengan kuesioner, ditampilkan dalam bentuk tabel, di jabarkan dalam bentuk
narasi dan dengan melakukan pemeriksaan feses metode natif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penelitian positif atau ditemukan telur cacing Trichuris tricura (4%) dan negatif atau tidak ditemukan telur
cacing sebanyak 96%. Sehingga dapat disimpulkan angka positif kejadian Soil Transmitted Helminths (STH)
pada anak SD di Desa Glagga Kecamatan Arosbaya sebanyak 1 terjadi infeksi dan 32 tidak terjadi infeksi.
Peningkatan angka kejadian kecacingan dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri, tindakan dan sikap.
Peran orang tua serta tenaga medis juga dapat menunjang penurunan angka kejadian kecacingan pada anak.
Kata Kunci: infeksi kecacingan, anak sekolah dasar , Soil Trasmitted Helminths (STH).
ABSTRACT
Children have the highest prevalence of infections and are prone to the effects of infectious Soil-Transmitted Helminths (sth).
Based on data obtained from Arosbaya Public Health Center, on the examination of microscopic feces from January 2018-
November 2019 obtained the result of 2 positive children from the total number of 10 patients. The purpose of this study is to
find out the prevalence of the incidence Of Soil-Transmitted helminths (STH) in elementary school children in the Glagga
Village Arosbaya district. The Research method used Deskirptif analytic with a cross-sectional study. The research was
conducted in Arosbaya District Public Health Center on 23-24th February 2020. The number of samples was 33
respondents. Data taken using questionnaires, shown in the tables, were elaborated in the form of narrative and then conducted
a native method of feces examination. The results of this study showed that positive research or found of Trichuris Trichura
Penerbit: USB Press
Jl. Letjend. Sutoyo, Mojosongo, Surakarta 57127
Email :
[email protected]26 | Aini & Fahmi Proceeding 1st SETIABUDI – CIHAMS 2020
worm eggs (4%) and negative or not found worm eggs as many as 96%. So that the positive numbers can be inferred by the
incidence of Soil-Transmitted Helminths (STH) in Elementary school children in Glagga village Arosbaya as much as 1
infection occurred and 32 did not occur infection. Increased of helminthiasis incidence rate can be prevented by maintaining self-
hygiene, actions, and attitudes. The role of parents and medical personnel can also support the decline in helminthiasis incidence
rate in children
Keywords: Worm infection, elementary school children, Soil Transmitted Helminths (STH).
PENDAHULUAN
Kecacingan atau yang biasa dengan sebutan helminthiasis, yaitu infeksi cacing parasit usus dari
golongan Nematoda usus yang ditularkan melalui tanah atau disebut Soil Transmitted Helminths (STH).
Helminthiasis biasa ditemukan di daerah tropis, subtropis, dan beriklim basah dimana hygiene dan sanitasi
buruk. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi paling umum menyerang masyarakat ekonomi lemah dan
ditemukan pada berbagai golongan usia (Rahmawati, 2019).
Menurut World Health Organization (2015) melaporkan lebih dari 24% populasi dunia terinfeksi
kecacingan dan 60% diantaranya adalah anak-anak. Infeksi STH rentan menyerang anak usia Sekolah Dasar
(Nurhalina dan Desyana, 2018). Infeksi cacing sering terjadi pada anak sekolah dasar karena aktivitas mereka
yang banyak berhubungan dengan tanah. Anak-anak yang tinggal di daerah kumuh memiliki risiko lebih
tinggi terinfeksi cacing dari pada anak-anak yang tinggal di kota (Puteri, et al., 2019).
Anak-anak yang sering terkontaminasi dengan tanah, pola hidup mereka masih berada di lingkungan
yang kurang memiliki sanitasi yang baik dan belum mengetahui cara menjaga hygiene yang benar merupakan
faktor dari penyebab terjadinya kecacingan.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah bersifat Descriptif Cross sectional..
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu dan tempat penelitian dilakukan dari bulan bulan September 2019 sampai bulan April 2020 di
SD Glagga Kecamatan Arosbaya dan pemeriksaan mikroskopis feses di Laboratorium Puskemas Arosbaya.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 1-2
SDN Glagga Kecamatan Arosbaya sebanyak 33 orang.
Variabel Penelitian
Variable pada penelitian ini adalah Soil Transmitted Helmintes
Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian yang dilakukan review didapatkan alat ukur atau intrumen menggunakan mikroskop dan
feses sebagai sampelnya.
Prevalensi Kejadian Soil Transmitted … Aini & Fahmi | 27
Prosedur Kerja
Pemeriksaan Feses
Proses mendiagnosis penyakit parasit untuk mengetahui berbagai bentuk stadium parasit pada feses dapat
menggunakan dua pemeriksaan, yaitu: pemeriksaan makroskopik dan pemeriksaan mikroskopik ( Setya,
2014).
a. Pemeriksaan Feses Makroskopik
Menurut satya (2014) pemeriksaan makroskipik menggunakan matameter untuk mengidentifikasi
feses. pemeriksaan feses makroskopis dibagi menjadi 5 pemeriksaan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan Warna dan Sisa Makanan
Warna dan sisa makanan diuji secara langsung dengan mengamati tinja secara visual. Sisa makanan
dapat dilihat berupa serat atau sayur yang tidak tercerna dengan baik.
Interpretasi Hasil :
Normal : Kuning Kecoklatan
Abnormal : Hitam, merah, hijau, dsb.
2) Pemeriksaan Lendir dan Konsistensi
Dua parameter ini dapat diperiksa secara bersamaan dalam suatu langkah kerja, yaitu dengan
menggunakan stik yang ditusuk ke dalam sampel.
Interpretasi Hasil Konsistensi :
Normal : Lunak (tidak keras/lembek).
Abnormal : Keras, lembekdan encer.
Interpretasi Hasil Lendir :
Normal : Tidak terdapat lendir.
Abnormal : Terdapat lendir yang ikut saat stik diambil.
3) Pemeriksaan Darah
Darah dapat diperiksa secara langsung maupun dengan bantuan reagen kimia untuk mendeteksi
adanya darah samar dalam tinja. Darah yang ditemukan pada feses biasanya disebabkan oleh
hemoroid atau luka pada anus.
Interpretasi Hasil Pengamatan Langsung :
Normal : Tidak terdapat darah.
Abnormal : Terdapat darah.
4) Pemeriksaan Bau
Seperti halnya bau urine, uji bau pada tinja dilakukan dengan mengibaskan menggunakan telapak
tangan terhadap sampel tinja pada wadahnya. Fermentasi usus dan proses pembusukan sangat
mempengaruhi pH karena proses tersebut menghasilkan indol dan skatol yang menyebabkan bau
pada feses. Makanan yang mengandung karbohidrat dapat mengubah pH menjadi asam, sehingga
feses memiliki bau yang asam. Bau tengik di sebabkan oleh makanan yang dikonsumsi mengandung
lemak. pH pada feses menjadi basa diubah oleh protein dan menyebabkan bau yang lebih tajam.
Interpretasi Hasil :
Normal : Merangsang tetapi tidak terlalubusuk.
Abnormal : Amis, busuk, tengik,dsb.
5) Pemeriksaan pH
Nilai pH tinja diperiksa menggunakan strip pH dengan bantuan pinset. Ambil kertas pH
menggunakan pinset lalu tempelkan atau benamkan ke dalam sampel tinja selama 30 detik.
Cocokkan perubahan warna yang terjadi pada kertas pH dengan standart warna strip pH.
28 | Aini & Fahmi Proceeding 1st SETIABUDI – CIHAMS 2020
b. Pemeriksaan Feses Mikroskopik
Menurut Satya (2017) untuk pemeriksaan mikroskopik membutuhkan alat mikroskop untuk
mengidentifikasi telur atau larva yang terdapat dalam feses. Pemeriksaan parasit (Helmin dan
protozoa) terdiri atas 2 macam cara pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif.
Pemeriksaan Kualitatif-Helmin
a. Metode Natif (Langsung)
Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCL fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaan
eosin 2% digunakan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.
Maksud : menemukan telur cacing parasit pada feses yang diperiksa.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada seseorang yang diperiksa fesesnya.
Dasar teori : eosin memberi latar belakang merah terhadap telur yang berwarna kekuningan dan
untuk lebih jelas memisahkan feses dengan kotoran yang ada.
b. Metode Konsentrasi
Tujuan dari metode ini adalah memisahkan kista dan telur cacing dari bahan-bahan lain yang
terkandung didalam tinja dan bergantung pada berat jenis masing-masing. Dikenal dua cara untuk
melakukan metode konsentrasi yaitu cara sedimentasi dan cara pengapungan.
1) Metode konsentrasi pengendapan sederhana.
2) Metode konsentrasi pengendapan formol-eter. Cara ini digunakan untuk menemukan kista dan
telur cacing termasuk golongan Trematoda.
3) Metode konsentrasi pengapungan ZnSO4 Faust. Prosedur ini sangat efisien untuk menemukan
kista protozoa, telur, larva dan cacing dewasa, namun kurang berhasil untuk telur cacing hati,
Cestoda dan telur beroperkulum.
4) Metode konsentrasi pengapungan. Metode ini menggunakan larutan jenuh NaCl jenuh atau
larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat jenis) telur sehingga telur akan
mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan pemeriksaan feses yang mengandung sedikit
telur. Cara kerjanya didasarkan pada berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur
terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam
feses. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistoma, Dibhothriosephalus,
telur yang berporipori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephalus ataupun telur Ascaris yang
infertil.
Maksud : Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk infeksi ringan.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang yang diperiksa fesesnya.
a) Metode Selotip (Cellotape methode)
Metode ini dilakukan untuk pemeriksaan telur Oxyuris vermicularis. Pemeriksaan dilakukan pada
pagi hari sebelum anak kontak dengan air. Anak yang diperiksan berumur 1 – 10 tahun. Cara
melakukan pemeriksaan ini adalah dengan menggunakan plaster plastik yang tipis dan bening,
dipotong dengan ukuran 2 x 1,5 cm. Plaster tersebut ditempelkan pada permukaan lubang anus lalu
ditekan dengan ujung jari. Plaster tersebut dilepas perlahan-lahan dan langsung ditempelkan pada
permukaan objek gelas untuk, kemudian dilihat ada atau tidak adanya telur yang melekat pada
plaster terebut dan dilihat dibawah mikroskop. Jika tidak terlihat telur, berarti negatif, sedangkan
yang ditemukan telurnya dikelompokkan ke dalam 4 kelompok yaitu positif 1 sampai positif 4.
Pengelompokan tersebut berdasarkan jumlah telur yang terlihat dalam satu lapang pandang dalam
mikroskop yaitu :
Prevalensi Kejadian Soil Transmitted … Aini & Fahmi | 29
1) Terdapat 1 – 5 telur berarti (+)
2) Terdapat 6 – 10 terlur berarti (++)
3) Terdapat 11 – 20 telur berarti (+++)
4) Terdapat >20 telur berarti (++++)
Jumlah sampel yang telah diketahui dan jumlah sampel yang positif, kemudian dapat dihitung
persentase anak yang terinfeksi O. vermicularis. Preparat yang positif dikumpulkan, untuk
kemudian dibuat suatu preparat permanen, dengan cara plaster yang terdapat telur digunting
kemudian diberi gliserin jeli 1 tetes, ditempelkan pada gelas objek dan ditutup dengan cover glass,
didiamkan beberapa hari sampai kering, setelah kering diatas cover glass diberi Canada balsem,
ditutup kembali dengan cover glass yang lebih besar kemudian didiamkan kembali sampai kering
sehingga diperoleh suatu preparat permanen.
b) Metode Biakan Harada-Mori
Metode Harada-Mori ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing STH yang
didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang
menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan
ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung tabung.
Dasar teori : Hanya cacing-cacing yang menetas diluar tubuh hospes yang akan menetas 7 hari
menjadi larva dengan kelembaban yang cukup.
c) Metode Kato
Pemeriksaan ini pertama kali ditemukan oleh Kato dan Miura (1954). Pemeriksaan ini sangat
memuaskan hasilnya bila digunakan untuk mendeteksi telur cacing berukuran sedang dan besar,
tetapi tidak baik bila digunakan untuk mendeteksi Trematoda kecil.
Pemeriksaan Kuantitatif-Helmin
a. Metode Stoll
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui derajat infeksi penderita kecacingan. Dengan cara ini
pula dapat diketahui efektifitas suatu obat cacing. Walaupun cara ini tidak dapat menentukan secara
tepat jumlah cacing pada penderita, namun dapat memberikan gambaran kasar tentang berat
ringannya infeksi.
b. Perhitungan Telur Cacing Per Gram Tinja
Perhitungan ini diperkenalkan oleh stroll. Secara prinsip berat tinja yang akan diperiksa disetarakan
dengan volume cairan 0,1 N NaOH. Sejumlah 1,03 g sampai 1,04 g tinja lunak setara dengan 1 ml
0,1 N NaOH sedangkan untuk tinja keras 1 ml 0,1 N NaOH setara dengan 1,05 – 1,07 gram feses.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian Obat Cacing
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pemberian Obat Cacing
Kecamatan Arosbaya
Obat cacing
N %
Diberikan Obat 33 100
Tidak diberikan
Obat 0 0
Total 33 100
30 | Aini & Fahmi Proceeding 1st SETIABUDI – CIHAMS 2020
Berdasarkan Tabel 1. Responden penelitian diketahui bahwa responden kelas 1-2 yang diberikan obat
cacing di Kecamatan Arosbaya sebanyak 100%. Penelitian ini sesuai dengan jumlah responden yang
diberikan obat cacing yakni sebanyak 33 responden.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keberadaan Telur Cacing Ascaris lumbricoides
Tabel 2. Distribusi Keberadaan Telur Cacing Ascaris lumbricoides
Keberadaan Telur Cacing Kecamatan Arosbaya
Ascaris lumbricoides N %
Ya 0 0
Tidak 33 100
Total 33 100
Berdasarkan Tabel 2. Responden penelitian ini diketahui bahwa responden tidak ditemukan telur
cacing Ascaris lumbricoides pada feses di Kecamatan Arosbaya sebesar 100%. Kondisi ini sesuai dengan
gambaran dengan yang tidak ditemukan larva cacing sebanyak 33 responden.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keberadaan Telur Cacing Ancylostoma duodenale
Tabel 3. Distribusi Keberadaan Telur Cacing Ancylostoma duodenale
Keberadaan Telur Cacing Kecamatan Arosbaya
Ancylostoma duodenale N %
Ya 0 0
Tidak 33 100
Total 33 100
Berdasarkan Tabel 3. Responden penelitian ini diketahui bahwa responden tidak ditemukan telur
cacing Ancylostoma duodenale pada feses di Kecamatan Arosbaya sebesar 100%. Kondisi ini sesuai dengan
gambaran dengan yang tidak ditemukan larva cacing sebanyak 33 responden.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keberadaan Cacing Ancylostoma brazilliense
Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Keberadaan Telur Cacing Ancylostoma brazilliense
Keberadaan Telur Cacing Kecamatan Arosbaya
Ancylostoma brazilliense N %
Ya 0 0
Tidak 33 100
Total 33 100
Berdasarkan Tabel 4 Responden penelitian diketahui bahwa responden tidak ditemukan telur cacing
Ancylostoma brazilliense pada feses di Kecamatan Arosbaya sebesar 100%. Kondisi ini sesuai dengan
gambaran yang tidak ditemukan cacing sebesar 33 responden.
Prevalensi Kejadian Soil Transmitted … Aini & Fahmi | 31
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keberadaan Telur Cacing Necator americanus
Tabel 5 Distribusi Berdasarkan Keberadaan Telur Cacing Necator americanus
Keberadaan Telur Cacing Kecamatan Arosbaya
Necator americanus N %
Ya 0 0
Tidak 33 100
Total 33 100
Berdasarkan Tabel 5 Responden penelitian diketahui bahwa responden tidak ditemukan Telur cacing
Necator americanus pada feses di Kecamatan Arosbaya sebesar 100%. Kondisi ini sesuai dengan gambaran
yang tidak ditemukan cacing sebesar 33 responden.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keberadaan Telur Cacing Strongyloides stercoralis
Tabel 6. Distribusi Berdasarkan Keberadaan Telur Cacing Strongyloides stercoralis
Keberadaan Telur Cacing Kecamatan Arosbaya
Strongiloides stercoralis N %
Ya 0 0
Tidak 33 100
Total 33 100
Berdasarkan Tabel 6 Responden penelitian diketahui bahwa responden tidak ditemukan telur cacing
Strongyloides stercoralis pada feses di Kecamatan Arosbaya sebesar 100%. Kondisi ini sesuai dengan
gambaran yang tidak ditemukan cacing sebesar 33 responden.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keberadaan Telur Cacing Trichuris trichura
Tabel 7. Distribusi Keberadaan Telur Cacing Trichuris trichura
Keberadaan Telur Cacing Kecamatan Arosbaya
Trichuris trichura N %
Ya 1 4
Tidak 32 96
Total 33 100
Berdasarkan Tabel 4.8 Responden penelitian diketahui bahwa responden yang ditemukan telur cacing
Trichuris trichura sebanyak 4% dan tidak ditemukan telur cacing Trichuris trichura pada feses di Kecamatan
Arosbaya sebesar 96%. Kondisi ini sesuai dengan gambaran dengan yang di temukan telur cacing sebanyak
1 responden dan tidak ditemukan telur cacing sebanyak 32 responden.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 22-24 Februari 2020 di Kecamatan
Bangkalan dengan jumlah sampel 33 responden didapatkan hasil Negatif sebanyak 100%. Hasil analisa
secara Mikroskopis didapat bahwa tidak menunjukkan adanya telur cacing Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale,Ancylostoma bazilliense, Strongyloides stercoralis, larva maupun cacing difeses
32 | Aini & Fahmi Proceeding 1st SETIABUDI – CIHAMS 2020
dapat dilihat dengan data pada tabel 4.3-4.7 bahwa dari 33 sampel yang diteliti dan dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
Menunjukkan hasil negatif sebanyak 32 responden dengan persentase 96% dan dinyatakan positif
dengan ditemukan telur cacing pada feses setelah dilakukan pemeriksaan sebanyak 1 responden dengan
persentase 4%. Hasil negatif disebabkan karena faktor kesadaran personal hygiene atau anak SD diberikan obat
cacingan yang rutin mereka konsumsi selama 6 bulan 1 kali. Hal ini disebabkan anak-anak sering
terkontaminasi dengan tanah, sehingga dapat mempengaruhi akan kelangsungan dan re-infeksi dari cacing
STH.
Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi
lingkungan menjadi sumber infeksi. Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian
obat cacing dapat mempengaruhi tingkat prevalensi infeksi kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada
anak SD kelas 1-2 di Kecamatan Arosbaya sehingga didapatkan hasil negatif lebih tinggi dari pada yang
positif, namun hygiene perorangan, perilaku dan tindakan dari anak-anak SD juga mempengaruhi akan
kelangsungan dan re-infeksi dari cacing STH.
KESIMPULAN
Tidak terdapat infeksi cacing Ascaris lumricoides, Ancylostoma duodenale, Ancylostoma brazilliense,
Necator americanus, dan Strongyloides stercoralis di Desa Glagga Kecamatan Bangkalan. Terdapat infeksi cacing
Trichuris trichura 1 responden di Desa Glagga Kecamatan Bangkalan.
DAFTAR PUSTAKA
Aini Nurul. (2016). Pengaruh Variasi Waktu Inkubasi Sediaan Baca Terhadap Hasil Pemeriksaan Telur Soil
Transmitted Helminths (STH) pada Metode Kato Katz. [Skripsi]. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Depkes RI. (2006).Pedoman Pengendalian Cacingan. Permenkes RI Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006.
Hadidjaja P., Sri S Margono. (2011). Dasar Parasitologi Klinik. Penerbit Perhimpunan Dokter Parasitologi
Klinik Indonesia FKUI: Jakarta.
Hairani, Budi, Juhairiyah. (2015). Infeksi Cacing Usus pada Anak Usia Sekolah SDN 1 Manurung
Kecamatan KHusah Hilir Kabupaten Tanah Bumbu Kali mantan Selatan Tahun 2014.
Hasmi. (2016). Metodelogi Penelitian Epidemiologi. Jakarta : CV.Trans Info Media
Natadisastra D, Agoes R. (2009). Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta,2012.
Nurhalina, Desyana. (2018). Gambaran Infeksi Kecacingan pada Siswa SDN 14 Desa Muara Laung
Kabupaten Murung Raya Provinsi KalimantanTengah Tahun 2017. Jurnal Surya Medika. Volume 3
No. 22018 :41:
Omposunggu, Mangapul. (2018). Pedoman Pemeriksaan Parasit : Feses, Darah, Cairan Tubuh & Jaringan.
Jakarta. EGC.
Puteri, Nuryanto, Candra. (2019). Hubungan Kejadian Kecacingan Terhadap Anemia Dan Kemampuan
Kognitif Pada Anak Sekolah Dasar Di Kelurahan Bandarharjo, Semarang. Journal of Nutrition
Collage :
Prahesti D.W. (2019). Prevalensi Infeksi Kecacingan Soil Transmitted Helminths (Sth) Pada Anak
Pemungut Sampah (Pemulung) Kecamatan Bangkalan. Bangkalan: Ngudia Husada Madura.
Prasetyo Heru R. (2003). Atlas Berwarna Helmintologi Kedokteran.Cetakan 1. Surabaya: Airlangga
University Press.
Prevalensi Kejadian Soil Transmitted … Aini & Fahmi | 33
Sandjaja Bernardus. (2007). Helmithologi Kedokteran. Buku II. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Setya K.A. (2002). Parasitologi Praktikum Analis Kesehatan: Jakarta. EGC.
Siyoto, S., Sodik, M., A,. Rosyidi, M., (2015). Dasar Metodelogi Penelitian. Yogyakarta. Literasi Media
Puhlishing.
Zaman V. (1997). Atlas of Medical Parasitology. Edisi 2, Jakarta: Graha Ilmu.
Zilfiana Lina. (2017). Gambaran Telur Nematoda Usus pada Kuku Petugas Sampah di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). [Skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.